Ada sebuah penyakit kronis dan bahaya laten yang menimpa kemanusiaan, menimpa individu dan masyarakat. Apabila ia mewabah maka akan merusak tatanan kehidupan manusia. Sebuah penyakit yang jika telah memuncak, tidak mampu dibedakan mana orang yang terpelajar dan mana orang yang awam. Mana orang yang berperadaban dan mana yang bar-bar. Mana orang yang beragama dan orang yang jauh dari agama. Penyakit ini adalah salah satu hal yang membuat manusia terpedaya, sumber kezaliman, sumber permusuhan, dan jalan menuju kerusakan. Penyakit itu adalah penyakit yang disebut dengan ta’ashub (fanatik golongan).
Ma’asyiral muslimin, ta’ashub bermula dari cara pandang yang salah dalam melihat adanya perbedaan pada komunitas lain dari segi agama, etnis, suku, politik, olahraga, atau yang lainnya.
Hakikat ta’ashub adalah tidak menerima kebenaran yang ada pada orang lain; padahal telah jelas dalilnya. Ta’ashub adalah tidak menerima keunggulan orang lain, padahal telah nyata adanya. Sebab di hatinya ada tujuan-tujuan tertentu, hawa nafsu, dan fanatisme terhadap kelompoknya.
Sikap ta’ashub adalah penyakit berbahaya yang akan senantiasa menghalangi persatuan dan menghilangkan perdamaian dari muka bumi.
Ma’asyiral muslimin, Ta’ashub terhadap golongan adalah kebiasaan yang ada pada zaman jahiliyah. Oleh karenanya, janganlah kita menjeburkan diri kita ke zaman jahiliyah dengan membiarkan penyakit ta’ashub menjangkiti diri kita.
Ketika Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, kala itu bangsa Arab merupakan salah satu bangsa dari sekian bangsa yang tinggi akan sifat fanatik golongan; setiap qabilah (suku) berbangga diri dan sering berperang hanya karena masalah kecil.
Begitu juga dengan kota Madinah, tempat dimana Nabi kita hijrah; antara suku-suku yang ada di sana saling bermusuhan dan bekerja sama dengan orang-orang Yahudi untuk saling menyerang.
Tapi kemudian Islam datang dengan cahaya persatuan. Islam datang dengan agama tauhid yang mempersatukan suku-suku yang bertikai menjadi saudara, dan menyelamatkan bangsa yang berada di ujung tanduk kebinasaan, sebab kesyirikan dan permusuhan antar sesama akibat fanatisme golongan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kalian semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian, ketika kalian dahulu (pada masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan. maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.” [QS. Ali Imran: 103]
Ma’asyiral muslimin, Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan nikmat yang agung berupa persatuan atas dasar iman dan Islam. Lantas, apakah kita akan rela, nikmat tersebut menjadi rusak akibat fanatik terhadap golongan?! Apakah kita akan ridha dan tinggal diam dengan permusuhan dan kerusuhan yang menelan banyak korban sebab fanatisme golongan?! Orang mukmin yang berakal niscaya tidak akan pernah ridha. Orang mukmin yang berakal niscaya tidak akan menerima perpecahan tersebut, dan akan senantiasa memperbaiki diri; kembali kepada agama Allah, kembali kepada Islam, kembali merajut tali persaudaraan dengan sesama sesuai tuntunan Islam, sebagaimana awal kedatangan Islam di bumi Arab.