Definisi Pelaku Penyimpangan Dari Kalangan Ahli Kiblat
Definisi Pelaku Penyimpangan
Pelaku penyimpangan yang dalam Bahasa Arabnya (مُخَالِفٌ) merupakan subjek dari kata (خالف – يخالف - مخالفة وخلافا) yang memiliki arti: perlawanan, perbedaan, dan perubahan, yaitu semua yang menyelisihimu dalam suatu hal.
Ibnu Faris berkata dalam kitab Muqaayiis: “Kata (خَلَفَ) huruf (ف - ل - خ) merupakan 3 huruf dasar, pertama bermakna: sesuatu yang datang menggantikan sesuatu sebelumnya, kedua bermakna: hal yang berbeda dengan sesuatu sebelumnya, dan ketiga bermakna: perubahan.”1
Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith: “Di dalam Al-Qur`an disebutkan: {فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}, (يُخَالِفُونَ) artinya: melanggar/ menyelisihi perkara yang telah dilarang.”2
Baca artikel terkait (sebelumnya): Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Definisi Ahli Kiblat
Kiblat secara bahasa berarti arah atau sisi, dan terkadang bermakna khusus berarti Ka’bah.
Ibnu Faris berkata: “Dinamakan kiblat karena orang-orang menghadap ke arahnya ketika shalat, begitu juga kiblat menghadap kepadanya.”3
Yang dimaksud kiblat disini adalah Ka’bah Musyarrafah (yang mulia), sedangkan ahli kiblat adalah semua kaum muslimin yang shalat menghadap Ka’bah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengisyaratkan hal tersebut dalam sabdanya:
“Barang siapa yang shalat seperti shalat kami, menghadap kiblat kami, dan memakan hewan sembelihan kami maka dia adalah seorang muslim yang mendapat perlindungan dari Allah dan perlindungan dari Rasulullah, maka janganlah kalian melanggar perlindungan dari Allah.”4
Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh mengkafirkan seorang muslim -bahkan jika dia seorang ahli bid’ah- dengan sebuah dosa, selama bid’ahnya bukan mukaffirah (yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, mengerjakan shalat sebagaimana shalat kami, menghadap kiblat kami, dan menyembelih kurban kami, maka darah dan harta mereka diharamkan bagi kami kecuali dengan alasan yang benar, dan pertanggungjawaban mereka di sisi Allah.”5
Imam Thahawi rahimahullah mengatakan: “Kami menyebut ahli kiblat kami sebagai seorang muslim dan mukmin selama mereka mengakui segala apa yang disampaikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam serta membenarkan apa-apa yang dikatakan dan dikabarkannya).”6
Kemudian Ibnu Abil ‘Izz mengatakan dalam penjelasannya:
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang shalat seperti shalat kami, menghadap kiblat kami, dan memakan hewan sembelihan kami maka dia adalah seorang muslim, hak dan kewajiban mereka sama dengan kami.”7 Syekh rahimahullah mengisyaratkan dengan perkataannya ini, bahwa islam dan iman adalah satu kesatuan, dan bahwa seorang muslim tidak keluar dari Islam karena berbuat dosa kecuali jika dia menghalalkannya. Dan yang dimaksud dengan perkataannya, “Ahli kiblat” adalah setiap orang yang mengaku Islam dan menghadap Ka'bah (ketika shalat-penj.); meskipun dia pengikut hawa nafsu atau ahli maksiyat, selama dia tidak mengingkari apa pun yang disampaikan oleh Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.8
Imam Thahawi rahimahullah juga mengatakan: “Kami tidak mengkafirkan satu pun dari ahli kiblat dengan sebuah dosa, selama tidak menghalalkan dosa tersebut. Akan tetapi kami juga tidak mengatakan bahwa dosa tidak memudharatkan keimanan pelakunya.”9
Ibnu Abil ‘Izz kemudian menjelasankan: “Syekh rahimahullah dengan perkataan ini mengisyaratkan bantahan terhadap orang-orang Khawarij yang mengkafirkan setiap pelaku dosa.”10
Syekhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah mengatakan:
“Telah tetap dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jama`ah berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, bahwa mereka tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat karena sebuah dosa, dan tidak mengeluarkannya dari Islam dengan melakukan sebuah larangan, seperti: berzina, mencuri, dan minum khamr; selama amalan tersebut tidak termasuk perbuatan keluar dari keimanan. Adapun jika mengingkari apa yang diperintahkan Allah untuk mengimaninya, seperti: iman kepada Allah, iman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kebangkitan setelah kematian, maka dia telah kafir karena tidak percaya kepada kewajiban yang paling wajib untuk diimani, dan tidak mengharamkan apa-apa yang diharamkan pada perkara-perkara yang jelas dan mutawatir (tersebar kabarnya).11
Kesimpulan
Dari definisi-definisi di atas bisa ditarik kesimpul bahwa pelaku penyimpangan dari ahli kiblat adalah: setiap orang yang menyelisihi manhaj Ahlis Sunnah wal Jama'ah yang shahih, dari kaum muslimin, mukminin, yang menghadap Ka'bah ketika melaksanakan shalat, meskipun ia seorang pengikut hawa nafsu atau pelaku dosa besar -selama tidak menghalalkannya-; selama dia percaya pada segala sesuatu yang datang dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, serta tidak melakukan perkara yang bisa membatalkan keislamannya sedangkan ia mengetahui hal tersebut.
Baca artikel terkait (sebelumnya): Jenis-jenis Khilaf
- Ibnu Faris, Ibnu Manzhur, Lisan Al-’Arab (Riyadh: Daar ’Alam Al-Kutub, 2003), jld. 2, hlm. 210.
- Majma’ Lughah 'Arabiyah Kairo, Al-Mu’jam Al-Wasith (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyah, 2011), hlm. 251.
- Ibnu Faris, jld. 5, hlm. 52.
- Bukhari, Shahih Al-Bukhari (Riyadh: Daar As-Salaam, 1999), nmr. 391.
- Bukhari, nmr. 392.
- Ibnu Abil ’Izz, Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah (Kairo: Daar As-Salaam, 2005), hlm. 313.
- Bukhari, nmr. 393.
- Ibnu Abil ’Izz, hlm. 313.
- ibid, hlm. 316.
- Ibid.
- Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa (Riyadh: Daar ’Alam Al-Kutub, 1991), jld. 20, hlm. 90.
Penulis:
Ustadz Nopi Indrianto, B.A, M.H
حَفِظَهُ اللهُ
Posting Komentar